CNBC Indonesia/Arrijal

Prediksi Pengusaha Mengenai Masa Depan Ekonomi RI, Apakah Akan Membaik Atau Justru Menjadi Lebih Buruk?

Rabu, 14 Mei 2025

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani mengonfirmasi bahwa optimisme pelaku usaha terhadap kondisi ekonomi enam bulan ke depan semakin menurun. Hal ini terungkap dalam Indeks Kepercayaan Industri (IKI) yang disurvei oleh Kementerian Perindustrian. Pada April 2025, angka indeks optimisme untuk kondisi usaha enam bulan ke depan tercatat hanya 66,8%, turun dari 69,2% pada Maret 2025. Tingkat optimisme ini merupakan yang terendah dalam 12 bulan terakhir, mengingat sejak April 2024 hingga Februari 2025, angka indeks berada di atas 70%, dengan optimisme tertinggi mencapai 72,7% pada April 2024. "Namun, saya tidak bisa mengatakan bahwa kita tidak optimis. Kami tidak pernah menyatakan hal tersebut. Bagi saya, saat ini bukan hanya soal optimis atau tidak, tetapi bagaimana kita dapat menyelesaikan masalah yang ada," ungkap Shinta dalam Media Briefing Apindo di Jakarta, Rabu (14/5/2025). Penurunan angka optimisme pelaku usaha dalam IKI sejalan dengan data Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur Indonesia untuk April 2025 yang menunjukkan kontraksi tajam ke level 46,7, menurun signifikan dari 52,4 pada Maret 2025. "Ini adalah level kontraksi terdalam sejak Agustus 2021 dan menandai pergeseran drastis dari fase ekspansi yang berlangsung dalam beberapa bulan terakhir. Kontraksi ini mencerminkan penurunan permintaan baru dan peningkatan tekanan biaya produksi, di tengah ketidakpastian pasar global," jelas Shinta. Ia menambahkan bahwa masalah optimisme pelaku usaha terganggu oleh empat tantangan struktural utama yang dihadapi sektor industri Indonesia, yang terus menggerus daya saing nasional.

Pertama, hambatan regulasi masih menjadi perhatian utama dalam dunia usaha. Survei Roadmap Perekonomian APINDO menunjukkan bahwa 43% pelaku usaha berpendapat bahwa regulasi yang ada belum mendukung kinerja produksi dan penjualan. Kedua, tingginya biaya berusaha menjadi tantangan serius. Biaya logistik di Indonesia mencapai 23% dari PDB, lebih tinggi dibandingkan dengan Malaysia, China, dan Singapura. Suku bunga pinjaman yang berkisar antara 8-14% serta kenaikan upah minimum rata-rata 8% per tahun melebihi kemampuan sektor industri padat karya. Biaya kepatuhan akibat birokrasi yang tidak efisien dan lemahnya kepastian hukum juga menambah beban usaha. Ketiga, keamanan dalam berusaha menjadi tantangan nyata di lapangan. Gangguan dari individu di luar sistem hukum sering kali menghambat proses produksi dan distribusi, menciptakan ketidakpastian operasional bagi pelaku usaha. Keempat, kualitas sumber daya manusia juga menjadi penghalang utama. Produktivitas tenaga kerja Indonesia (US$ 23,87 ribu) masih tertinggal dari rata-rata ASEAN, dengan dominasi tenaga kerja berpendidikan SD ke bawah (36,54%) dan hanya 12,66% lulusan perguruan tinggi.

Untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut, Shinta menyatakan bahwa Apindo telah berperan aktif dalam berbagai inisiatif pemerintah untuk mempercepat transformasi ekonomi nasional, termasuk pembentukan satgas peningkatan ekspor nasional, satgas deregulasi, serta satgas perluasan kesempatan kerja dan mitigasi PHK yang berada di bawah Kemenko Perekonomian. "Oleh karena itu, saya menekankan bahwa kita adalah bagian dari Indonesia Incorporated, dan kita juga harus memberikan solusi terhadap permasalahan yang ada. Jadi, tidak hanya sekadar mengeluh, kita juga harus menyampaikan solusi dan bagaimana mengawasi pelaksanaannya di lapangan," tegas Shinta.


Tag:



Berikan komentar
Komentar menjadi tanggung-jawab Anda sesuai UU ITE.